Nadira
Penulis: Leila S. Chudori
Tebal: 308 halaman
Gramedia Pustaka Utama
2015
Beberapa hari lalu, akhirnya saya bisa menyelesaikan membaca buku fiksi pertama di tahun 2019. Saya memang mulai membaca lebih lambat dari sebelumnya. Selain itu, pada awal tahun 2019 saya sempat dilanda kegalauan ingin mulai dengan buku apa.
Adalah buku berjudul “Nadira” yang saya selesaikan sebagai fiksi pertama di 2019. Nadira diceritakan sebagai seorang perempuan yang tak mudah meluapkan emosi. Usianya sudah cukup dewasa, ia pun adalah seorang yang tegar. Ia tertutup dan melalui hidupnya setelah tahun 1991 seperti robot. Seperti raga yang tak berjiwa.
Pekerjaannya sebagai jurnalis bukan menjadi satu-satunya latar yang membentuk karakternya seperti itu. Tapi juga masa kecilnya sebagai bungsu dari tiga bersaudara dalam keluarga dengan budaya yang berbeda. Sang ayah dan keluarga dari sisinya yang merupakan penganut Islam yang taat, sementara sang ibu berasal dari keluarga sekuler liberal. Serta kematian sang ibu, Kemala, yang menyisakan tanda tanya besar dalam hati Nadira, “Mengapa?”
Nadira menemukan tubuh ibunya tergeletak tak bernyawa di lantai rumah mereka. Kemala meninggal karena kemauannya, setelah menenggak banyak-banyak obat tidur. Setelahnya, kehidupan Nadira berubah.
Ya, buku ini seolah “menelanjangi” sosok Nadira. Menariknya, alih-alih novel, sosok Nadira diceritakan dalam kumpulan cerita pendek dari berbagai sudut pandang tokoh-tokoh yang ada di dalam buku.
Salah satu cerita berjudul “Nina dan Nadira” merupakan memoar kakak pertama, Nina. Dalam cerita pendek tersebut, dikisahkan Nina mengenang masa lalunya dengan Nadira. Bagaimana ia memperlakukan Nadira dengan ketidakakraban keduanya dan menyisakan perselisihan tak berujung hingga keduanya dewasa.
Dalam cerita lain berjudul “Sebilah Pisau” sosok Nadira diceritakan dengan diksi yang lebih indah dan manis. Bagaimana tidak, cerita pendek ini dikisahkan dari sudut pandang seorang rekan kerja Nadira, bernama Kris, yang rupanya tertarik dengan sosok misterius Nadira. Meski bukan akhir yang manis dan kisah cinta mesra-mesra, “Sebilah Pisau” boleh jadi cerita pendek favorit saya dalam buku ini. Di dalam cerpen ini, Kris menambahkan berbagai ilustrasi yang khusus ia buat dalam rangka mengingat Nadira. Kepalan tangan, gigitan apel, kaki yang menyembul dari kolong meja. Ah, begitu indahnya jika hati mulai main mata.
Nadira adalah buku ketiga Leila S. Chudori yang saya baca. Sebelumnya saya sudah membaca Pulang dan Laut Bercerita. Keduanya berbentuk novel. Dan sama seperti dua karya yang saya baca terdahulu, Nadira berisi deretan paragraf penuh detail yang memacu adrenalin dengan diksi yang boleh dikatakan aduhai. Entah bagaimana proses menulisnya, saya selalu kagum dengan cara Leila S. Chudori bercerita. Sangat indah. Bahkan setiap tokoh dalam bukunya pun memiliki nama yang luar biasa. Dalam buku ini, Nadira Suwandi, Kemala, lalu Utara Bayu.
Cara berceritanya pun masih sama, kadang alurnya maju teratur, kadang maju-mundur. Menarik. Hanya saja, kadang saya harus melempar diri saya jauh ke cerpen-cerpen sebelumnya untuk mendapatkan momen yang pas. “Di belahan waktu mana tepatnya peristiwa dalam cerpen ini terjadi?”, misalnya. Bagi saya, tidak semua alur maju-mundur klop dengan konsep cerita pendek. Begitu pula dalam buku ini. Namun, saya cukup menikmati antologi kumpulan cerita pendek, yang boleh dikatakan tidak sebegitu pendek juga sih.